Sudah terlalu lama meninggalkanmu, tanpa tulisan baru. Biasanya selalu jadi tempat curhat. Tapi sayangnya hasrat menulis mulai punah. Tapi kali ini ingin berbagi kisah panjang dan akan menjadi salah satu sejarah dalam hidupku. Beberapa bulan lalu mendapat ujian berat, ketika Allah mengambil nikmat sehat. Dan inilah awal dari kisahnya.
Ketika sakit itu mulai ada, tapi tak dirasa-rasa....
Sekitar bulan Januari, mulai ngerasain sakit pinggang. Mungkin karena lagi sibuk-sibuknya di kantor. Tiap malem begadang nyelesaiin kerjaan. Bungkuk-bungkuk depan laptop, ya wajarlah pinggang jadi nyut-nyutan. Beberapa kali manggil tukang urut, tapi tetap gak mempan.
Sampai berganti bulan. Februari. Sakitnya makin terasa. Ditambah lagi dapet perintah DL (Dinas Luar) ke beberapa daerah. Harus duduk lama berjam-jam naik mobil, kebayang kan apa kabar pinggang. Tapi demi tugas, harus tetep berangkat. Sakit pinggang makin menjadi. Balik DL, mulai periksa ke dokter. Awalnya ke klinik dokter umum deket rumah, tapi obatnya tetap gak mempan. Lalu ke dokter penyakit dalam. Mungkin ada masalah ginjal yang menyebabkan sakit pinggang. Tapi setelah USG, ternyata gak ada masalah. Dikasih obat juga masih gak mempan. Coba dirontgent juga gak ada masalah. Saat itu sakitnya sudah menjalar ke leher dan lengan kiri.
Dapet perintah DL lagi, ke Bogor, 3 hari. Kondisi sakit pun tetap harus berangkat, karena memang tugasku dan gak bisa digantiin yang lain. Hingga akhirnya balik ke rumah tepar. Otot leher tiba-tiba kencang, tegang. Ijin gak masuk kerja pertama kalinya. Periksa ke dokter direkomendasikan ke bagian rematologi. Ditanyain "kurang olahraga ya?", "Kurang berjemur matahari ya?". Ya, semuanya benar. Kata dokter makanya otot jadi tegang semua. Disuruh tes lab vitamin D. Dan ternyata hasilnya di bawah standar. Selanjutnya selain dikasih obat juga dibantu suntik vitamin D seminggu sekali.
Pas pertama kali suntik, sampe bikin nangis. Sebenernya bukan karena sakit, tapi karena pesan dari dokter.
Dokter: "Gimana, udah olahraga? Udah berjemur?"
Ibuk: "Dia ini gak ada waktunya dok. Balik kerja langsung kuliah."
Dokter: "Ya kita harus tau prioritas. Untuk apa pekerjaan bagus, pendidikan tinggi, tapi kondisi kayak gini, badan gak sehat. Ini sudah termasuk parah lho. Jadi harus banyak istirahat, olahraga, berjemur. Jangan dulu kerja yang tegang-tegang."
Ibuk: "Berapa lama dok penyembuhannya?"
Dokter: "Bisa 3-6 bulan. Tergantung rajin olahraga dan berjemur gak."
Entah kenapa mata langsung berkaca-kaca. Gak nyangka, kurang vitamin D sampe segitunya. Dipikir sekedar kayak kurang vitamin C, banyak makan jeruk, vitacimin, dan sariawan seminggu bakal sembuh. Airmata ngalir gak berenti-berenti, bahkan sampai sepanjang jalan di mobil dari klinik dokter pulang ke rumah. Akhirnya terpaksa ngambil cuti pertama kalinya. Lumayan dapet cuti 9 hari, ngabisin cuti tahun lalu. Ditambah 2 kali tanggal merah dan sabtu-minggu, jadi total 2 minggu cuti 10-24 April. Selama cuti tiap pagi olahraga dan berjemur. Tapi sampe cuti habis, kondisi masih belum membaik dan sudah harus kembali ngantor seperti biasa.
Kondisi semakin parah. Kepala sampai teleng sebelah ke kanan, tangan kiri mulai lemah gak bisa diangkat. Udah sebulan suntik belum ada perubahan. Akhirnya dokter nyaranin MRI supaya tahu penyakitnya kenapa. Kata dokter seharusnya sudah enakkan karena ototnya sudah gak tegang lagi. Pertama kalinya nyoba MRI scan dan hasilnya....
TB Tulang.
Kabar yang sangat mengejutkan. Penyakit yang belum pernah tahu. Dokter menjelaskan tulangku terkena virus di ruas tulang leher ke 3 dan 4. Pengobatannya bisa 8-12 bulan rutin minum obat setiap hari. Disuruh hati-hati gak boleh lagi capek, bawa tas berat, karena tulangnya mudah rapuh.
Walau sudah tahu penyakitnya, tapi tetep ngantor seperti biasa. Badan makin gak karuan. Kerja makin gak optimal. Hingga akhirnya gak sanggup lagi bertahan. Terpaksa harus dirawat di rumah sakit untuk pertama kalinya. Minggu sore ke UGD RS Hermina, tapi ternyata kamar penuh. Kemudian dirujuk ke RS Siti Khadijah. Ditangani oleh dokter penyakit dalam. 7-10 Mei. Selama di rumah sakit, sakitnya mulai berkurang, karena infus obat. Akhirnya dibolehin pulang. Saat itu kondisiku belum benar-benar sehat. Tapi kupikir wajar, karena masih harus lanjut rawat jalan.
Sore hari perjalanan pulang dari rumah sakit, berbaring di mobil dengan rasa sakit yang mulai kembali terasa. Tepat di depan pintu rumah, rasa sakitnya kembali kumat, parah.
Ibuk: "Ngapo? Ya Allah nak, kito baru balek rumah sakit, ngapo lah cak ini lagi."
Rasa sakit yang tak bisa lagi ditahan....
Bukan lagi sekedar air mata yang mengalir, tangisanku pun pecah. Mungkin terakhir kalinya nangis depan ibuk ayah dulu waktu kecil. Tapi kali ini tak tertahan lagi. Serba salah mencari posisi nyaman untuk mengurangi rasa sakitnya. Duduk sakit, ngguling sakit. Ibuk dan ayah hanya bisa menguatkan, mengingatkan untuk zikir dan istighfar. Pulang dari rumah sakit, makin terkapar. Seminggu berlalu masih belum bisa balik ngantor. Cuma tiduran di rumah. Bangun cuma untuk ke kamar mandi dan sholat duduk di kursi, sambil menahan sakit.
Lalu kembali usaha konsultasi ke dokter lain. Dapet saran dari teman ibuk untuk ke dokter saraf. Hari Jumat malam kami ke YK Madira. Dan disanalah baru tahu kalau aku harus dioperasi. Aku memang sudah cari-cari info tentang Tb Tulang dan rata-rata pengobatannya memang harus operasi. Ternyata begitu juga denganku. Dokter menyarankan ke dokter bedah saraf di RS Khadijah. Senin sore kami kesana untuk konsultasi. Dan kami mendapat kabar yang lebih buruk lagi. Dokter bilang kondisiku termasuk langka karena menyerang di bagian tulang leher. Dan ini lebih bahaya karena di leher terdapat banyak saraf. Jadi perlu alat khusus (aku lupa namanya mungkin semacam mikroskop untuk melihat letak tulang yang rusak dan saraf saat operasi) yang hanya ada di RS Siloam dan tidak ada di RS lain di Palembang. Ibuk dan Ayah langsung syok denger Siloam. You know why? Yes, There's no BPJS, so need much money.
Ayah: Kira-kira biayanya berapa ya dok? Yah soalnya kita ini cuma PNS.
Dokter: Saya belum bisa bilangnya. Tergantung perawatan dan lain-lain. Tapi kira-kira bisa 150-200.
BOOOMMM!!! BUKAN RATUSAN RIBU TAPI RATUSAN JUTA. Kita semua syok. Rasa sakitku mulai kumat. Bukan karena denger itu, tapi karena terlalu lama duduk. Aku kembali ke mobil, berbaring menahan sakit. Aku nangis, ibuk juga nangis melihat kondisiku dan memikirkan biaya yang dokter sebut. Tapi ibuk tetap menguatkanku, menenangkanku, dan menahan tangisnya di hadapanku.
Banyak yang menyarankan untuk mencari second opinion. Teman ibuk di kantor menyarankan berobat di Malaka, tapi sepertinya kondiaiku sudah gak memungkinkan untuk perjalanan jauh. Lalu ibuk bertanya ke sepupuku yang seorang dokter untuk memastikan apakah alat yang disebut dokter kemarin ada atau tidak di RS Umum. Ternyata memang tidak ada. Tapi katanya kalau RS Umum gak sanggup pasti akan dirujuk ke RSCM Jakarta. Tapi ibuk bilang bakal repot kalo harus dirawat di Jakarta. Akhirnya sepupuku menyarankan ke dokter bedah saraf lain yang lebih senior.
Rabu malam kami konsultasi ke klinik dokter bedah saraf. Disana disuntik lebih dari 10 kali. Di jidat, leher, tengkuk, bahu. Beruntungnya aku bukan yang takut disuntik. 2-3 kali belum berasa, tapi setelah berkali-kali jas-jus-jas-jus suntikannya berasaaaa banget. Kaki sampai bergetar hebat. Kupikir karena nahan sakit, tapi dokter bilang ternyata saraf kaki ku sudah mulai kena. Gak boleh jalan lagi, harus pakai kursi roda karena kalau jatuh bisa bahaya. Bisa jadi lumpuh. Dokter bilang harus segera dirujuk ke IGD RS Umum. Dan malam itu juga langsung berangkat ke RS, tanpa persiapan baju, dll.
Babak kedua rumah sakit dimulai. [to be continued]
No comments:
Post a Comment