Melanjutkan kisahku sebelumnya yang terputus lamaaaa (maklum, niat dan mood menulis yang makin memudar). Link sebelumnya >> TB TULANG Part 1 <<
Penderitaan yang Tiada Henti
Malam itu juga, Rabu 17 Mei 2017, setelah dari klinik dokter bedah saraf, aku langsung dirujuk ke IGD RSUP Prof. Dr. M. Hoesin Palembang. Suasana yang jauh berbeda dengan IGD rumah sakit yang dulu. Disini sangat ramai antrian. Tapi dengan surat rujukan yang kubawa, aku bisa langsung masuk. Disinilah penderitaan itu dimulai.
Datang suster yang akan mengambil sampel darah. Tusukan pertama, gagal. Dan baru berhasil di tusukan kedua. Lanjut lagi datang koas untuk pasang infus. Koas pertama, mencoba di punggung tangan kiri, gagal. Tangan langsung bengkak besar, terasa ngilu dan kaku. Ganti koas kedua, nusuk di pergelangan bagian samping tangan kiri. Dua kali tusukan, masih gagal. Ya Allah, rasanya pengen teriak "hei kalian pikir aku kelinci percobaan, jadi bahan tusuk-tusukan!". Tapi apadaya gak ada tenaga. Selanjutnya dipanggil suster yang tadi ambil darah. Langsung dalam hati berpikir "Yah, dia lagi. Tadi aja nusuk dua kali". Dan ternyata benar, dia gagal lagi. Nusuk di punggung tangan kanan, dan darahnya malah ngucurr deras. Terakhir datang residen. Setelah nanya "kenapa ini?", terus dia pegang tangan kanan, nusuk bagian samping pergelangan tangan kanan, dan berhasil. Alhamdulillah. Masang infus aja udah serasa cobaan berat.
Posisiku masih di IGD. Belum boleh pindah ke kamar. Mungkin karena sudah terlalu malam, jadi harus menunggu besok pagi. Suasana IGD yang hiruk pikuk membuatku gak bisa tidur sama sekali. Ditambah lagi aku hanya boleh terlentang dan gak boleh banyak gerak, terutama bagian leher. Lelah. Sakit. Ngantuk. Tapi gak bisa tidur. Cuma nangis semaleman. Mata sudah bengkak sembab. Waktu terasa berjalan sangaatt lama.
Keesokan paginya yang sudah ditungu-tunggu begitu lama. Akhirnya aku boleh pindah ke kamar. Sebelumnya ke bagian radiologi untuk rontgen torax. Sesampainya di kamar, aku harus diangkat untuk dipindahkan dari ranjang IGD ke ranjang kamar. Harus hati-hati karena mempertahankan posisi leherku tetap lurus dan gak bergerak.
Bedrest total. Segala aktivitasku dilakukan di atas ranjang. Makan, minum, BAB, BAK, sholat, dll cuma bisa posisi terlentang. Dokter bilang akan menjadwalkan operasi minggu depan. Harus terlentang begini semingguan. Ya Allah, baru sehari aja rasanya sudah capek. Gak sanggup kek gini terus. Pengen balik badan, miring kanan-kiri. Malam kedua, di kamar yang nyaman, tapi tetap aja gak bisa tidur. Cuma nangis (lagi). Ngeluh sama ibuk "Capek buuuk". Ibuk tetep sabar nemenin sampe aku bisa tidur. Malem ketiga, bukan hanya lelah tapi bertambah masalah baru, yaitu kegerahan. Malem keempat, penderitaan kembali bertambah, yaitu gatal. Yah, punggung gak pernah bergerak dan dalam kondisi lembab jadi bikin gatel-gatel. Dan semua keluh-kesah itu berakhir di ibuk. Ibuk selalu nasehati, "Jangan ngeluh, dzikir bae terus. Lama-lama nanti capek, ngantuk, terus bisa tidur". Sambil ngipas-ngipasin dan ngelus-ngelus badanku yang gatel.
Sering juga malem-malem susah tidur karena berisik. Berisik bunyi ngorok!! Ayah, ibuk, dan mas semua tidur di rumah sakit. Dan ayah itu ngorok parah. Dongkol, kesel, marah, bahkan benci. Aku tidur harus dengan susah payah ditambah bunyi berisik yang mengganggu. Tapi tetep aja ibuk yang selalu nenangin. Walau nampak sangat ngantuk, tetap bertahan menemaniku. "Jangan dibawa kesel. Harus tenang, harus ikhlas. Kalo dalam hati ini nyimpen dongkol, kesel, marah, malah makin jadi ngerasa gatellah, gerahlah, berisiklah".
Perjuangan tidur yang berat setiap malam. Dan saat siang makin mengenaskan. Kondisiku terlihat begitu menyedihkan. Saat itu aku seperti kehilangan separuh semangatku. Hanya berbaring terlentang menatap langit-langit. Orang-orang yang datang menjenguk, ngajakin ngobrol menyemangati, gak sanggup kurespon. Males ngobrol. Gak bisa lagi ikut ketawa. Hanya terdiam. Lelah. Lelah karena posisi yang gak berubah-ubah, lelah karena kurang tidur, lelah karena tiap malam nangis, dan lelah hati dan pikiran yang gak berenti-berenti.
Pakde, bude yang datang menjenguk selalu menasehati, "Gak boleh ngelamun. Dzikir terus, inget Allah. Dedek harus kuat. Ingetlah nak, semuanya nanti pasti ada hikmahnya. Inget dak dulu waktu Dedek dak lulus STIS? Dedek kecewa, kita semua bersedih. Tapi ternyata Allah ganti yang lebih baik lagi. Selesai kuliah langsung lulus PNS, penempatan disinilah. Dak mental jauh di tempat lain. Inget, kita harus selalu bersyukur. Allah kasih penyakit, tapi Allah kasih jalan untuk sembuh. Ada ibuk ayah yang siap biaya. Diluar sana banyak yang sakit tapi dak punya apa-apa, dak bisa berobat". Setiap dinasehati, air mata ini selalu menetes tak dapat tertahan lagi. Aku ingin bersikap seperti biasa, bersemangat, ceria. Tapi entahlah, rasanya tubuh ini kehilangan semuanya. Sudah terlalu lelah untuk sekedar bicara, apalagi tertawa.
Seminggu berlalu masih belum ada kabar kapan dioperasi. Dan malah muncul keluhan baru lagi, susah BAB. Perut mulai gak nyaman. Dikasih obat minum masih belum ngefek, dikasih obat lewat anus juga belum bisa. Dan lama-lama malah memperparah. Perut kontraksi tapi tetap tidak bisa keluar. Maaf mungkin ini berasa menjijikkan untuk diceritan. Tapi rasa sakitnya bener-bener menyiksa. Beberapa hari perut kontraksi terus-terusan. Dan pada puncaknya akhirnya disemprot cairan dari bagian bawah. Entahlah mungkin pencahar. Saat itu kontraksi makin kuat dan kondisiku bener-bener kayak orang mau melahirkan. Ngeden sekuat tenaga, muka pucat, keringat, tangan dingin berasa beku. Ibuk sampe panik. Dan proses ini akhirnya selesai dalam 2 jam. Lega.
Setelah itu aku mulai lebih tenang menanti jadwal operasi. Sempet di-PHP beberapa kali. Sudah disuruh puasa persiapan sebelum operasi. Tapi sampe besoknya ternyata batal, karena ruang ICU penuh. Yah, itulah kendalanya. Harus menyesuaikan jadwal dokter dan menunggu ada ruang ICU. Karena operasi besar yang akan kujalani, jadi pasca operasi harus diobservasi di ruang ICU. Sempat 3 atau 4 kali batal, akhirnya hari Selasa tanggal 30 Mei 2018 jadi operasi. Sekitar jam 9an disuruh siap-siap, ganti baju bedah, ganti infus baru, dan mulai bed ku didorong menuju ruang bedah. Dagdigdug. Antara bersyukur akhirnya dioperasi, tapi jg takut bagaimana nanti.
Akhirnya Hari Ini Operasi
Sampai di instalasi bedah, terjadi kerepotan lagi untuk memindahkanku dari bed kamar ke bed ruang bedah. Rame-rame rombongan dokter mulai ngangkat dengan hati-hati. Setelah itu ayah ibu disuruh keluar pergi. Aku sendiri. Bersama dokter-dokter pria ini. Ada beberapa dokter yang sedang ngobrol-ngobrol sambil bercanda. Dalem hati sempet mikir, dokter mau bedah orang nyantai-nyantai aja ya, padahal pasiennya setengah mati cemas.
Lalu bed ku didorong menuju ruang bedah sebenernya. Nampak alat-alat besar, entah apa namanya, lampu besar, berbagai macem alat lain yang aku tak paham. Pengen rasanya ngeliat sekeliling, tapi sayangnya kondisi telentang lurus dan kepala yang gak boleh gerak membuatku hanya bisa melihat sebatas pandangan mata. Dokter-dokter sudah rame dengan baju hijau dan masker. Beberapa aku mengenali wajahnya karna pernah datang ke kamar. Mereka mulai memasang beberapa alat-alat yang terhubung ke komputer, sepertinya deteksi detak jantung dan tensi.
Dan proses bedah akan segera dimulai. Seorang dokter anestesi, wanita berwajah chinese yang pernah beberapa kali ke kamar mendekat.
Dokter : "Udah siap? Kita mulai sekrang ya."
Aku : ......
Berlanjut ke part 3
Pakde, bude yang datang menjenguk selalu menasehati, "Gak boleh ngelamun. Dzikir terus, inget Allah. Dedek harus kuat. Ingetlah nak, semuanya nanti pasti ada hikmahnya. Inget dak dulu waktu Dedek dak lulus STIS? Dedek kecewa, kita semua bersedih. Tapi ternyata Allah ganti yang lebih baik lagi. Selesai kuliah langsung lulus PNS, penempatan disinilah. Dak mental jauh di tempat lain. Inget, kita harus selalu bersyukur. Allah kasih penyakit, tapi Allah kasih jalan untuk sembuh. Ada ibuk ayah yang siap biaya. Diluar sana banyak yang sakit tapi dak punya apa-apa, dak bisa berobat". Setiap dinasehati, air mata ini selalu menetes tak dapat tertahan lagi. Aku ingin bersikap seperti biasa, bersemangat, ceria. Tapi entahlah, rasanya tubuh ini kehilangan semuanya. Sudah terlalu lelah untuk sekedar bicara, apalagi tertawa.
Seminggu berlalu masih belum ada kabar kapan dioperasi. Dan malah muncul keluhan baru lagi, susah BAB. Perut mulai gak nyaman. Dikasih obat minum masih belum ngefek, dikasih obat lewat anus juga belum bisa. Dan lama-lama malah memperparah. Perut kontraksi tapi tetap tidak bisa keluar. Maaf mungkin ini berasa menjijikkan untuk diceritan. Tapi rasa sakitnya bener-bener menyiksa. Beberapa hari perut kontraksi terus-terusan. Dan pada puncaknya akhirnya disemprot cairan dari bagian bawah. Entahlah mungkin pencahar. Saat itu kontraksi makin kuat dan kondisiku bener-bener kayak orang mau melahirkan. Ngeden sekuat tenaga, muka pucat, keringat, tangan dingin berasa beku. Ibuk sampe panik. Dan proses ini akhirnya selesai dalam 2 jam. Lega.
Setelah itu aku mulai lebih tenang menanti jadwal operasi. Sempet di-PHP beberapa kali. Sudah disuruh puasa persiapan sebelum operasi. Tapi sampe besoknya ternyata batal, karena ruang ICU penuh. Yah, itulah kendalanya. Harus menyesuaikan jadwal dokter dan menunggu ada ruang ICU. Karena operasi besar yang akan kujalani, jadi pasca operasi harus diobservasi di ruang ICU. Sempat 3 atau 4 kali batal, akhirnya hari Selasa tanggal 30 Mei 2018 jadi operasi. Sekitar jam 9an disuruh siap-siap, ganti baju bedah, ganti infus baru, dan mulai bed ku didorong menuju ruang bedah. Dagdigdug. Antara bersyukur akhirnya dioperasi, tapi jg takut bagaimana nanti.
Akhirnya Hari Ini Operasi
Sampai di instalasi bedah, terjadi kerepotan lagi untuk memindahkanku dari bed kamar ke bed ruang bedah. Rame-rame rombongan dokter mulai ngangkat dengan hati-hati. Setelah itu ayah ibu disuruh keluar pergi. Aku sendiri. Bersama dokter-dokter pria ini. Ada beberapa dokter yang sedang ngobrol-ngobrol sambil bercanda. Dalem hati sempet mikir, dokter mau bedah orang nyantai-nyantai aja ya, padahal pasiennya setengah mati cemas.
Lalu bed ku didorong menuju ruang bedah sebenernya. Nampak alat-alat besar, entah apa namanya, lampu besar, berbagai macem alat lain yang aku tak paham. Pengen rasanya ngeliat sekeliling, tapi sayangnya kondisi telentang lurus dan kepala yang gak boleh gerak membuatku hanya bisa melihat sebatas pandangan mata. Dokter-dokter sudah rame dengan baju hijau dan masker. Beberapa aku mengenali wajahnya karna pernah datang ke kamar. Mereka mulai memasang beberapa alat-alat yang terhubung ke komputer, sepertinya deteksi detak jantung dan tensi.
Dan proses bedah akan segera dimulai. Seorang dokter anestesi, wanita berwajah chinese yang pernah beberapa kali ke kamar mendekat.
Dokter : "Udah siap? Kita mulai sekrang ya."
Aku : ......
Berlanjut ke part 3
No comments:
Post a Comment