13 June 2018

Cerpen : Berakhir di sini

Berakhir Di Sini


Aku duduk sendirian di keramaian ruang tunggu bandara. Penerbanganku masih tiga puluh menit lagi. Berkali-kali aku membuka smartphone, mencari nama seseorang di Whatsapp, mengetikkan beberapa kalimat. Tapi kemudian kuhapus dan kututup lagi smartphoneku. Haruskah aku mengabarinya atau menunggu setelah sampai disana atau tidak sama sekali?

Aku akan berangkat liburan ke tempat pamanku di desa, dulu rumah kakek dan nenek juga. Tapi karena mereka sudah tiada, pamanku yang tinggal disana sekarang. Aku minta ijin bunda untuk liburan sendirian. Untungnya bunda mengijinkan karena tujuanku bukan tempat asing, hanya ke desa kelahirannya dan hanya tiga hari disana. Aku butuh udara segar desa menjauh dari kebisingan kota dan rehat sejenak dari penatnya pekerjaan. Benarkah ini tujuan sebenarnya? Atau aku justru mau menemui seseorang? Yang membuatku berulang kali membuka smartphoneku saat ini.

Panggilan untuk boarding sudah terdengar. Para penumpang lain sudah terlihat mengantri di depan gate keberangkatan. Aku masih duduk menatap Whatsapp. Sudah ada beberapa kalimat diketik. Jariku lama terdiam di atas tombol kirim. Antrian gate tinggal sedikit lagi. Kulihat lagi kata-kata yang sudah kuketik di layar. Kemudian kuberanikan diri menekan tombol kirim. Tanda centang dua. Segera kumatikan smartphone dan berlari menuju antrian sebelum namaku dipanggil lewat pengeras suara.

"Hai, apa kabar? Cuma mau ngabarin, hari ini aku berangkat  ke Solo."

Pesan itu telah terkirim padanya. Seorang teman jauh yang hampir setahun ini menjauh tanpa kabar. Aku mengenalnya setahun lalu saat perjalanan dinas kantor ke Solo. Kami bertemu hanya tiga hari dalam sebuah kegiatan. Lalu perkenalan ini berlanjut melalui sosial media, Whatsapp, video call, dan berbagai cara komunikasi jarak jauh lainnya. Dalam beberapa bulan kami menjadi semakin dekat. Dekat lewat kata-kata. Hingga kemudian semuanya berhenti begitu saja. Dan aku tak pernah berani menanyakan kenapa.

Sekitar satu jam penerbangan, pesawatku akhirnya landing. Sampai di bandara, kunyalakan lagi smartphoneku dan langsung membuka Whatsapp. Seketika ada rasa kecewa. Masih belum ada tanda centang biru disana. Aku tau dia tak pernah mematikan pemberitahuan sudah dibaca. Jadi pesanku pasti belum dibuka. Atau mungkin malah langsung dihapus begitu saja. Entahlah.

Tak lama kemudian smartphoneku berdering. Telpon dari paman menyuruhku untuk menunggu sebentar, ia belum sampai bandara karena mobilnya pecah ban dan sedang mencari bengkel tambal ban terdekat. Setelah menunggu bagasi, akupun berjalan keluar. Melihat-lihat sekitar, seolah mencari seseorang. Tapi nampaknya percuma saja. Orang yang dicari tidak ada. Selagi menunggu, aku masih terus saja menatap layar smartphoneku. Berharap dua buah centang itu berubah menjadi warna biru yang menandakan chat Whatsappku sudah dibaca. Menunggu memang selalu membosankan.

Paman menelponku lagi memberi tahu bahwa anaknya yang akan menjemputku dan sekarang sudah dekat bandara. Adik sepupu yang selalu kurindukan saat mudik ke Solo. Beruntunglah aku tak harus menunggu lebih lama lagi. Aku melihatnya berlari kecil ke arahku. Aku memeluknya erat. Sudah empat tahun aku tak bertemu dengannya, dia sudah semakin besar dan cantik. Sayangnya setahun lalu waktu aku dinas ke Solo, aku tak sempat mampir ke rumah paman.

Di sepanjang perjalanan, sepupuku asyik bercerita banyak hal. Tapi sayangnya pikiranku masih jauh melayang menuju seseorang. Dan ternyata sepupuku menyadarinya. Aku tak bisa menutupi sesuatu darinya, dia pasti tahu bila aku sedang ada suatu masalah. Aku pun menceritakan semuanya juga alasanku datang kesini. Sepupuku menyarankanku untuk menemui pria itu, mumpung sudah sampai di sini. Kami pun menuju kantornya. Tapi aku tak berani masuk. Kami hanya menunggu di seberang jalan. Menunggunya hingga pulang kerja.

Sudah hampir satu jam kami menunggu. Hingga akhirnya aku melihatnya keluar. Tapi aku masih tak berani menemuinya. Kami mengikuti mobilnya hingga sampai di sebuah rumah. Aku hanya tau kantornya dan tak tau apakah itu rumahnya. Dia berdiri mengetuk pintu rumah itu dan tak lama seorang wanita cantik keluar. Wanita itu langsung cipika-cipiki kemudian mereka bergandengan tangan naik ke dalam mobil. Sepertinya ini bukan rumahnya. Dia ke sini hanyak menjemput wanita itu. Jadi siapa dia?

Aku terpaku melihatnya. Sepupuku menanyakan apakah aku masih mau mengikutinya lagi. Aku menggeleng pelan. Air mataku sebisa mungkin kutahan agar tak jatuh. Sudahlah. Kurasa sampai disini pun sudah menjawab semuanya. Kulihat lagi smartphoneku. Pesan yang sudah terkirim itu pun kuhapus. Entah sudah dibaca atau belum. Aku tak peduli lagi. Sepupuku mengelus bahuku untuk menguatkanku. Aku berusaha tersenyum kepadanya lalu mengajaknya segera pulang ke rumah paman.

Sepupuku berusaha menghibur dengan berjanji mengajakku ke tempat-tempat yang menarik agar aku bisa melupakan masalah ini. Yah, semoga saja ini bukan liburan yang gagal. Setidaknya aku takkan bertanya-tanya lagi kenapa dirinya menjauh. Kisah ini dimulai di sini dan biarlah juga berakhir di sini. Aku akan meninggalkan semua kisah itu di sini. Hingga saat aku kembali ke ibukota, aku bisa memulai kisah baru lagi.

No comments:

Post a Comment