01 July 2018

Cerpen : Kata yang Tak Terucap

Perpustakaan adalah tempat favoritku di sekolah. Buku-buku adalah teman terbaikku. Banyak hal yang bisa diceritakannya padaku. Saat jam istirahat kebanyakan teman-teman buru-buru berlari ke kantin, tapi aku lebih memilih menghabiskan waktu di perpustakaan. Bapak petugas penjaga perpus pun sudah sangat ingat denganku karena terlalu seringnya aku kesini. Meja di sebelah kiri dekat jendela adalah tempat favoritku di perpus karena menghadap taman sekolah.

Siang ini perpus lebih ramai dari biasanya. Ada sekelompok siswa-siswi sepertinya sedang mengerjakan tugas kelompok. Untungnya meja favoritku tetap kosong. Hari ini Bu Yanti memberikan PR Matematika, pelajaran favoritku, yang lumayan banyak. Jadi sebelum pulang ke rumah, aku menyelesaikan PR dulu disini biar di rumah bisa belajar yang lain. Aku mengambil dua buku Matematika yang berbeda untuk membantu kalau ada soal yang susah yang tidak ada rumusnya di buku sekolahku.

Tak beberapa lama ada seorang cowok berkacamata membawa sebuah buku duduk di meja yang sama di ujung sisi yang berseberangan denganku. Kulirik sekilas, ternyata kakak kelas. Tapi aku tak terlalu mengenalnya. Dia duduk disini karena memang hanya tinggal meja ini yang kosong.

Entah kali ini kenapa aku kurang bisa konsentrasi. Sepertinya ada yang sedang memperhatikan. Atau hanya aku yang keGeeRan. Lalu tiba-tiba sebuah pesawat kertas mendarat tepat di atas bukuku. Kupandang cowok di seberangku. Ia hanya menunduk menikmati buku bacaannya. Kubuka lipatan pesawat kertas ini. Ternyata ada tulisan.

Memandang langit hingga bergulir sang mentari dan rembulan. Menanti pelangi hingga derai hujan mulai memudar. Tak beranjak dari singgasana. Menanti dari balik dahan menjulang. Tak mampu menatap tanpa pohon yang menghalang.

Meniti langkah menuju singgasana. Kini pelangi berada di hadapan. Tajamkan mata menikmati indahnya. Meski sunyi tanpa sorak, nikmati saja tiap heningnya.

Denting jarum berputar. Detaknya tunjukkan rasa yang terperangkap. Dapatkah kau mendengarnya. Pelangiku....

Kupandang lagi cowok di seberangku. Ternyata dia sudah menghilang. Kuputar pandanganku mengelilingi perpus, tapi ia sudah tidak ada. Mungkinkah dia yang tadi melempar pesawat ini. Tapi kenapa. Aku tak memahami maksudnya.

Kusimpan kertas pesawat ini di dalam tas. Akupun segera membereskan buku dan bersiap pulang. Aku sudah kehilangan konsentrasi untuk menyelesaikan PR di sini. Di depan perpus ternyata masih ada cowok tadi, sepertinya dia menungguku. Aku pun segera menghampirinya.

"Kamu yang melempar pesawat kertas ini? Kugerak-gerakkan beberapa kali tangan dan jari-jemariku.

Ia hanya mengangguk pelan dan tersenyum simpul. Aku tak tahu apa lagi yang harus kusampaikan. Beberapa saat kami hanya berdiri berhadapan dalam diam. Hingga dia menyerahkan sebuah buku berwarna biru langit.

"Bacalah ini di rumah." Ucapnya dengan gerakan tangan.

Kemudian ia berbalik arah dan berlari pergi. Aku bertepuk tangan berharap ia mendengar dan kembali. Tapi dia terus saja berlari.

Malam hari di rumah setelah menyelesaikan PR ku yang belum kelar, sebelum tidur aku pun membaca buku dari cowok perpus tadi.

Kubuka halaman pertama, tertulis nama dan kelasnya. Nama yang sangat unik. Kubalik lagi halaman berikutnya. Ada banyak puisi, sepertinya ini hasil karyanya sendiri. Kenapa dia memberikan buku ini. Aku bingung. Hingga ke tulisan terakhir, aku baru tau maksudnya.

Pelangi, kamu mungkin tak mengenalku, tapi aku sering memperhatikanmu. Dari taman aku memandangmu jauh dari balik jendela perpus. Kucoba mencari tahu siapakah dirimu. Selama ini aku hanya bisa bersembunyi. Hingga tadi kuberanikan diri menemuimu. Ijinkan aku lebih mengenalmu dan kamu mengenalku. Maukah kamu menulis bersamaku mengisi lembaran-lembaran kosong buku ini?

Aku mengambil lagi kertas pesawat dalam tasku dan membacanya. Aku tak dapat berhenti menahan senyumku membaca kata-kata puitis yang awalnya tak kupahami. Tapi setelah membaca bukunya, aku tak menyangka ternyata aku mempunyai pengagum rahasia. Terbayang lagi senyum cowok perpus tadi.

Kubus. Penuh warna. Rumit. Rubik. Begitu unik. Baru pertama kali kudengar nama seseorang seperti ini.
Aku merasa kita memiliki persamaan. Kita sama-sama memiliki beragam warna. Rubik memiliki warna yang sulit dan rumit untuk disatukan. Pelangi juga memiliki banyak warna yang susah ditemukan, hanya saat rinai hujan berkolaborasi dengan mentari. 
Mungkinkah warna adalah sebuah pertanda.

Aku mencoba menulis di bukunya untuk membalas suratnya. Besok akan kukembalikan lagi bukunya. Tak ada salahnya untuk mengenalnya lebih dekat. Sepertinya aku mulai tertarik dengannya.

Keesokan harinya. Mentari pagi mengintip dari balik jendela. Aku sudah bersiap berangkat ke sekolah. Pagi ini aku merasa lebih semangat dari biasanya. Ku periksa lagi isi tasku, buku biru langit sudah ada di dalamnya. Aku tidak sabar untuk memberikannya ke Rubik nanti.

Jam istirahat, seperti biasa aku langsung ke perpustakaan. Ternyata Rubik sudah ada disana. Aku segera berbalik arah keluar perpus. Kemudian berjalan cepat menuju taman. Ku coba mencari posisi yang tepat untuk memandangnya di perpus. Seperti yang ia lakukan selama ini. Aku hanya penasaran, apa yang membuatnya bisa tertarik padaku memandang dalam jarak sejauh ini.

Aku tak bisa melihatnya dengan jelas. Pantulan pepohonan taman di kaca jendela perpus lebih mendominasi. Aku hanya bisa melihat siluetnya samar. Atau karena memang mataku yang rabun. Aku memang menggunakan kacamata minus.

Karena tak banyak yang bisa kulihat, aku pun segera kembali ke perpus dan menemui Rubik.

"Hai. Sudah lama disini?" Aku bertanya dengan tanganku, mencoba berbasa-basi. Padahal aku sudah tahu dia dari tadi disini.
"Kamu ngapain tadi di taman?" Ia menulis di kertas sambil menahan senyum.
"Eeeng..." Aku cuma bisa nyengir. "Kamu lihat ya? Aku cuma mau nyoba apa yang kamu lakukan selama ini. Tapi aku cuma bisa melihat pantulan pohon di jendela." Aku menulis di kertasnya juga.

Dia tertawa terbahak-bahak meski dalam diam. Aku sebal melihatnya. Tapi wajahnya sungguh manis saat tertawa. Diam-diam aku juga menikmatinya.

Bel masuk sudah berbunyi. Akhirnya Rubik berhenti tertawa. Ia menengadahkan tangan. Aku menatapnya bingung. Lalu ia menunjuk buku yang ada di tanganku. Oh, aku baru mengerti. Aku berikan buku biru langitnya. Kami pun kembali ke kelas. Wajahnya saat tertawa masih saja terus terbayang. Kira-kira apa yang akan ditulisnya di buku itu.

Saat pulang sekolah, kulihat Rubik di depan kelasku. Ia memberikan buku biru itu lagi. Ku kira baru besok ia akan memberikannya.

"Aku sudah selesai menulis. Daripada harus menunggu besok, jadi aku berikan sekarang. Biar besok aku bisa membaca tulisanmu lagi." Jelas tangannya.

Sesampainya di rumah aku langsung membaca bukunya.

Aku masih saja tertawa sendiri bila mengingatmu mengintipku dari taman. Pasti tak ada yang menarik yang kamu lihat dari sana. Memang tidak nampak jelas. Tapi entahlah kamu begitu terlihat menarik. Setiap hari, orang yang duduk di meja itu selalu sama dan sangat membuatku penasaran ingin mengenalmu.
Oh ya, kamu mau tau kenapa namaku Rubik? Orang tuaku cerita kalau saat mengandungku, ibu selalu berusaha menyusun rubik. Setelah mencoba memainkannya selama 9 bulan, akhirnya tepat sejam sebelum melahirkanku, beliau berhasil menyusun kembali semua warna-warna rubik. Kisah yang lucu kan. Meskipun namaku Rubik, tapi jangan menyuruhku memainkannya. Aku sama sekali tak mengerti kubus kecil itu.

Lalu bagaimana dengan Pelangi? Apakah kedua orang tuamu memberikan nama itu karena kamu seindah Pelangi?
Kaya warna-warni indah. Hadirkan ceria mata memandang. Walau sekejap saja, mampu indahkan semesta. Hadir hapuskan derai hujan. Pelangiku, kamu selalu mengindahkan semestaku.

Kata-kata Rubik selalu indah. Senyumku tak pernah berhenti saat memvaca tulisannya. Lalu segera aku menulis balasan di halaman sebelahnya.

Kali ini aku yang tertawa karna cerita tentang namamu. Hahaha.
Sekarang tentang namaku. Sayangnya ini bukan cerita lucu sepertimu. Namaku sebelumnya bukanlah Pelangi. Awalnya orang tuaku memberi nama Mentari, agar menyinari keluarga setiap hari. Tapi, saat umurku 5 tahun, aku pernah ditabrak mobil dan membuatku koma lebih dari sebulan. Kedua orang tuaku sudah mengikhlaskan. Berdoa sembuh secepatnya atau kalau memang tak bisa bangun lagi, ambillah saja. Lalu mereka mengganti namaku. Mungkin mengikuti adat lama, ganti nama supaya sembuh. Entahlah.
Pelangi. Seperti katamu tadi, meski sekejap saja, tapi indah. Kalau saja umurku hanya sekejap saja, orang tuaku bilang aku sudah mengindahkan hidup mereka.
Tapi ternyata, pelangi ini masih saja terlukis indah di langit. Mungkin karena rinai hujan dan mentari masih menemani. Meski kini tak dapat lagi meramaikan rumah dengan sorak. Semoga aku bisa selalu mengindahkan hidup mereka dengan warna hingga akhir hayatnya.

Ku akhiri tulisanku. Tak dapat lagi ku bendung air mata. Segera ku tutup buku ini sebelum basah karena air mataku yang menetes mengenang cerita bunda tentang namaku di waktu kecil. Kejadian yang membuatku kini tak dapat bersuara lagi.


Bersambung....

No comments:

Post a Comment