02 July 2018

Cerpen : Kata yang Tak Terucap (2)

Pagi ini di sekolah, Rubik sudah menyambutku di depan gerbang. Entah sudah berapa lama dia menungguku di sini. Dia langsung menagih bukunya ketika aku datang.

"Selamat pagi." Sapanya dengan senyum yang merekah. "Eh, matamu sembab. Kenapa?" Dia bertanya dengan wajah khawatir.
"Tidak apa-apa." Jelasku dengan senyuman agar ia tak mencemaskanku.

Rubik segera membuka buku dan membaca tulisanku.

"Apa kamu menangis karena mengingat kejadian yang dulu saat menulis ini? Maafkan aku sudah menanyakannya sehingga membuatmu sedih." Ia menulisnya di buku.
"Tidak apa-apa. Aku tidak sedih karena hilangnya suaraku. Masih beruntung bukan nyawaku. Karena sedikit terkenang masa lalu, jadi aku terbawa suasana saja. Jadi berpikir bagaimana kalau aku benar-benar pergi." Aku membalas di bawah tulisannya.

Rubik balas menulis, "Bersyukur Yang Maha Kuasa masih memberikanmu waktu menikmati kebersamaan bersama keluargamu dan orang-orang yang menyayangimu."
"Iya. Hanya saja, setelah kupikir-pikir semalam, aku jadi membenci pelangi."
"Kenapa?"
"Pelangi itu seperti pemberi harapan palsu. Ia memberikan keindahannya hanya sekejap saja lalu menghilang. Aku tak mau pudar dan membuat orang kecewa. Andai pelangi terlukis indah di langit sepanjang hari."
"Kalau saja pelangi terlukis sepanjang hari, akankah menjadi tampak indah selalu?" Ia menunjukkan tulisannya sekilas, lalu melanjutkan menulis. "Bukankah ia istimewa karena muncul sesekali saja? Lagipula saat pelangi memudar, orang yang memandang bukannya kecewa, tetapi pelangi itu membekas indah dalam benaknya."

Aku membaca tulisan Rubik dan berpikir sejenak. Lalu bel masuk membuyarkan lamunanku. Kalimat Rubik tadi benar. Lalu kami masuk ke kelas masing-masing.

Semakin lama kami menjadi dekat, jadi sahabat. Aku pernah mengajaknya komunikasi lewat SMS saja agar bisa saling membalas dengan cepat dan bisa mengobrol lebih lama. Tapi Rubik menolaknya. Katanya itu tidak spesial. Jadilah kami hanya berbagi cerita lewat buku setiap harinya. Setiap hari kami berbagi cerita. Tulisannya selalu indah, aku tidak pernah bosan membacanya.

Satu semester telah berlalu. Rubik saat ini sedang sibuk belajar untuk menghadapi Ujian Nasional. Seminggu buku biru langit itu masih padanya. Ia belum sempat membalas tulisanku. Aku libur di rumah. Tak bisa juga bertemu dengannya. Rasanya aku rindu. Entah pada tulisannya atau dirinya.

Akhirnya Ujian Nasional selesai. Aku pun kembali ke sekolah. Rubik masih belum bisa bersantai. Ia juga harus menyiapkan ujian masuk universitas. Siang itu, kami duduk di taman sekolah. Kali ini tidak di perpustakaan. Udara hari ini sedang sejuk dan matahari tidak menyengat.

"Setelah lulus, kamu mau melanjutkan kemana?" Tanyaku di sebuah kertas.
"Aku ingin mengambil jurusan sastra di UI. Aku ingin jadi penulis." Ia menjawab dengan gerak tangannya dengan sangat bersemangat. "Doakan ya." Lanjutnya lagi.

Aku hanya bisa tersenyum. Berarti setelah Rubik lulus, aku akan berpisah dengannya. Ia akan ke ibukota. Dan entah kapan kami dapat bertemu lagi. Aku jadi sedih memikirkannya.

"Aku pasti akan merindukanmu." Kutulis kecil di kertasku. Tapi kemudian langsung kucoret kembali. Kertas itu kulipat dan kusimpan di saku. Aku tidak berani mengungkapkan padanya.

"Kenapa?" Rubik penasaran apa yang kutulis tadi.
"Tidak. Aku hanya memikirkan aku belum tahu tahun depan setelah lulus aku mau jadi apa. Mungkin aku akan ke kampusmu juga, biar bisa bertemu kamu lagi."
"Aku akan selalu menulis surat untukmu. Kamu masih mau membaca tulisan-tulisanku?"
"Surat? Kenapa tidak dengan ini?" Aku menunjukkan hapeku.
"Bukankah aku sudah pernah bilang, itu tidak spesial."
"Lalu buku ini?"
"Biar aku fotocopy dulu. Buku aslinya kuberikan untukmu. Nanti di hari terakhir kita bertemu, akan kukembalikan."

Aku jadi semakin sedih memikirkan hari terakhir itu. Dan waktu pun terasa bergulir semakin cepat. Kemarin saat Rubik ujian, aku menginginkan waktu berjalan cepat agar dapat bertemu kembali dengannya, tapi seminggu pun terasa sangat lama. Sedangkan sekarang, aku ingin menikmati waktu lebih lama bersama Rubik, menghabiskan setiap detik sebelum keberangkatannya. Tapi sebulan tak terasa tinggal besok saja.

Rubik berhasil lulus masuk Universitas yang diinginkannya dan jurusan yang sangat sesuai dengan kemampuannya. Aku turut bahagia. Tapi tetap saja, rasa sedih harus berpisah dengannya tak dapat kusembunyikan. Aku tak bisa menahan air mataku ketika ikut mengantarnya ke stasiun.

"Jangan sedih." Ucap tangannya lalu ia mengambil sapu tangan dan menghapus air mata yang mengalir di pipiku.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Hanya mencoba menghentikan isakanku. Rubik mengeluarkan buku birunya dari dalam tas dan memberikannya padaku. Ia juga menunjukkan fotocopy miliknya. Rubik menyampulnya dengan warna biru langit yang serupa dengan buku aslinya. Aku jadi sedikit tertawa. Buku fotocopy itu terlihat mirip dengan buku ini.

"Aku senang melihatmu tersenyum lagi. Jangan sedih terus ya. Kita pasti akan segera bertemu kembali. Buku ini akan selalu mengingatkanku padamu. Jaga buku itu ya. Teruslah menulis disana apapun yang ingin kau ceritakan. Aku juga akan berbagi ceritaku padamu melalui surat." Tangannya menjelaskn dengan perlahan dan senyumnya tak berhenti terlukis di wajahnya.

Aku mengangguk pelan. Sambil menikmati senyumnya. Aku pasti akan merindukan senyum itu. Tapi sekarang aku harus melepasnya pergi. Sudah saatnya kereta tujuannya berangkat. Kami bersalaman, bukan tanda perpisahan, tapi tanda persahabatan. Rubik seera naik ke kereta dan duduk di bangkunya. Kami masih saling menatap lewat jendela. Hingga kereta itupun mulai berlalu dan dirinya kini semakin menjauh.

Sepulangnya di rumah, aku membuka buku biru langit dan membaca setiap tulisannya dari awal. Hingga ke tulisan terbarunya.

Pelangi,
Sore ini aku memandangnya jauh, bertahta indah di langit biru
Hanya sekejap saja berbagi lapisan warna, lalu memudar dan menghilang
Tapi kamu Pelangiku,
Tahtamu kokoh takkan terhapus
Bahkan langit pun menginginkanmu melengkung di atas sana
Tapi aku takkan rela berbagi indahmu
Biarlah langit kan cemburu
Karena kamu takkan memudar 
Di dalam hatiku
Meski Pelangiku nampak jauh, tak tersentuh
Tapi indahmu selalu membawa rindu
Ku harap langit menyampaikan tentang rasa yang tak pernah berani tuk terucap
Pelangiku,
Aku pasti akan merindukanmu

Air mataku mengalir seketika. Aku mengambil kertas dari dalam dompetku. Berisi kalimat yang sudah tercoret, yang dulu tak jadi kusampaikan padanya.

Aku pasti akan merindukanmu.

Aku menempelkan kertas itu di dalam buku dan menulis di bawahnya.

Semoga langit pun menyampaikannya padamu.

No comments:

Post a Comment