"Nak, bagaimana kabar dia sekarang?"
Makan malam baru saja dimulai. Tapi tanpa tedeng aling-aling ayah bertanya tepat saat Rina akan memasukkan suapan pertama ke mulutnya. Ibu dan adiknya hanya terdiam memandang keduanya. Rina tentu tahu siapa dia yang dimaksud ayahnya. Ia mengurungkan niat untuk menyuapkan makanan ke mulutnya. Rina terdiam sejenak menatap sang ayah yang masih bisa dengan santainya mengunyah makanannya, seolah tak menyadari pertanyaan tersebut telah merusak suasana makan malam.
"Yah,...." Rina baru akan menjawab pertanyaan ayah, tapi ibu segera memotongnya.
"Makanlah dulu, Nak."
Ibu tahu jika pembicaraan suami dan putrinya ini diteruskan, maka makan malam hari ini akan menjadi debat kusir ayah dan anak. Ibu tidak mau putrinya kehilangan selera makan dan tak mau menyantap makanannya. Ibu melirik ayah sekilas, seolah memberikan isyarat untuk melanjutkan pembicaraan nanti seusai makan malam.
Selanjutnya, hanya denting sendok dan piring beradu sesekali terdengar. Semua anggota keluarga hanya diam menyantap makanan masing-masing. Permasalahan ini memang cukup genting. Rina, gadis yang sudah berusia awal kepala tiga ini tak kunjung dinikahi kekasihnya setelah hampir tujuh tahun mereka bersama. Hal inilah yang membuat ayah mengkhawatirkan putrinya. Apalagi Dika, adik Rina, sudah berencana untuk menikah dengan pacarnya dalam waktu dekat.
Sebenarnya Rina tak mempermasalahkan bila adiknya melangkahinya. Tapi ayah tidak mau keluarganya menjadi bahan gunjingan tetangga. Bukannya ayah tak mau membantu mencarikan jodoh untuk Rina. Beberapa kali ayah mencoba mengenalkan anak teman-temannya, tapi Rina tetap saja menolak. Ia masih saja menunggu kekasihnya di belahan bumi yang jauh di sana, Amsterdam.
Nico, kekasih Rina pergi melanjutkan kuliah S2 nya disana empat tahun lalu dan berjanji akan segera kembali dan menikahi Rina setelah ia lulus. Nico sudah lulus dua tahun lalu, tapi belum juga kembali hingga sekarang. Rina hanya bisa menunggu. Beberapa kali ia sering menanyakannya, tapi Nico tidak memberikan jawaban yang pasti. Ia mendapatkan pekerjaan disana, sehingga menetap disana dan tidak tahu kapan akan kembali. Komunikasi mereka akhir-akhir ini juga semakin jarang. Email yang dikirim Rina jarang mendapat balasan dari Nico. Entah karena ia terlalu sibuk atau apa.
Makan malam telah selesai. Pembicaraan yang tertunda tadi pun dilanjutkan di ruang keluarga. Ayah, ibu, Rina, dan Dika sudah berkumpul dan tampak tegang. Rina memulai pembicaraan.
"Yah, maafkan Rina kalau selama ini Rina selalu membuat ayah dan ibu khawatir. Rina sudah sering bertanya ke Nico, tapi dia juga tidak tahu kapan bisa kembali kesini. Sepertinya pekerjaannya di sana tidak memungkinkan dia untuk kembali lagi. Rina memang masih mencintainya, tapi Rina juga sudah lelah menunggu. Jadi, sekarang Rina serahkan semua ke ayah dan ibu. Rina siap menerima pilihan ayah dan ibu." Rina menatap kedua orang tuanya pasrah. Kemudian ia melanjutkan pembicaraan pada adiknya. "Dan untuk Dika, biarlah kamu menikah duluan. Kasian pacarmu, jangan buat dia menunggu."
"Tidak, Kak. Dika sudah bilang ke Nindya dan dia siap menunggu. Bahkan kalau nanti kakak sudah menemukan pasangan, mungkin kita bisa menikah bersamaan. Hehe...." Perkataan Dika berhasil mencairkan suasana. Semua anggota keluarga yang lain tersenyum mendengarnya.
"Baiklah, Nak." Ayah kembali serius. "Ayah akan mengenalkan kamu dengan anak teman-teman ayah lagi. Ayah harap ada yang dapat menarik hatimu. Walaupun Ayah tahu di hatimu masih ada dia, tapi cobalah membuka hati dan menerima orang lain. Mungkin dia yang kau tunggu selama ini bukanlah takdirmu, sehingga sampai sekrang kalian belum dipertemukan lagi. Dan menurut Ayah, bukanlah cinta, jika dia membiarkanmu menunggu tanpa kepastian. Ayah harap kamu bisa mengerti dan tidak terpaksa melakukan semua ini." Ayah mengelus kepala Rina dengan kasih sayang.
"Rina mengerti, Yah. Rina sudah ikhlas. Maafkan Rina tak pernah mendengarkan Ayah selama ini." Rina memeluk ayahnya dengan erat. Air matanya menetes, tak lagi dapat ditahannya.
"Ehem." Dika mencoba mengambil perhantian untuk berbicara. "Sebenarnya Dika juga punya teman yang mau dikenalin ke Kak Rina. Sebenarnya Kakak juga sudah kenal dia. Dia sudah sering ke sini."
"Siapa?" Rina mulai penasaran.
"Haris. Sebenarnya dia sudah lama menaruh hati sama Kakak. Tapi karena Dika bilang Kakak sudah punya pacar, makanya dia cuma menyimpan saja perasaanya. Dia memang lebih muda tiga tahun dari Kakak, seumuran dengan Dika. Tapi Haris bisa bersikap dewasa. Kalau boleh sih, Kakak coba dulu kenalan lebih dekat dengan dia."
Rina berpikir sejenak mengingat-ingat Haris yang diceritakan adiknya. Haris adalah pria berkacamata yang sangat ramah dan lucu. Rina memang sudah beberapa kali bertemu dengannya saat ia main ke rumah. Rina mulai tertarik untuk mengenal teman adiknya itu karena Haris terlihat adalah orang yang baik.
"Bagaimana menurut Ayah dan Ibu?" Rina menanyakannya pendapat orang tuanya.
"Ibu hanya akan mendoakan yang terbaik bagimu, Nak." Jawab Ibu sambil mengelus kepala pitrinya.
"Ayah juga setuju saja. Ayah lihat Haris memang anak yang baik. Tapi..." Ayah berhenti sejenak dan membuat yang lain jadi cemasa dan penasaran. "Tapi kamu jadi dapat berondong dong. Hahaha...." Ayah bercanda menggoda putrinya sambil mencubit dagunya.
"Aah.... Ayah." Rina tampak cemberut, tapi sambil tertawa juga.
Semua keluarga tertawa bahagia. Pembincaraan yang berawal menegangkan ini, akhirnya berakhir dengan canda tawa bahagia. Rina akhirnya mau mencoba melupakan kekasihnya yang jauh yang telah membuatnya menunggu lama tanpa kepastian dan membuka hati untuk seseorang yang mungkin akan menjadi pasangan hidupnya.
No comments:
Post a Comment