06 January 2019

Cerpen : Kau Membuatku Menulis Lagi

Aku berdiri di depan lemari kaca yang berisi berbagai buku yang berjejer rapi. Ada novel, nonfiksi, biografi, majalah, dan lain-lain. Semuanya sudah selesai kubaca. Bahkan ada beberapa buku yang kubaca berulang. Sebagian adalah karya penulis ternama dan beberapa lainnya adalah karyaku sendiri. Kuamati satu persatu judul, hingga pandanganku berhenti pada sebuah buku bersampul warna putih. Aku menariknya dari lemari. Tertulis dengan warna merah judul buku di bagian atas sebelah kiri, "Kau Membuatku Menulis Lagi". Dan di bawahnya terdapat nama si penulis, Nevada. Itulah aku.

Novel ini adalah karyaku yang baru terbit beberapa bulan lalu. Aku sudah menjadi penulis sejak masih duduk di bangku SMA. Beberapa cerita yang kukirim ke redaksi dimuat di majalah. Kemudian sepuluh tahun lalu aku telah berhasil menerbitkan buku karya pertamaku dan kini sudah ada delapan buku yang pernah beredar di toko-toko buku ternama. Aku menatap lagi buku di tanganku, kusentuh tulisannya yang agak timbul. Buku ini mengingatkanku pada kisah tiga tahun yang lalu. Kala itu aku menghentikan hidupku sebagai penulis.

********
Cahaya merah di waktu senja menemani aku dan kamu mengendarai motor tua kesayanganmu. Menuju ke sebuah cafe tempat pertama kali kita berjumpa. Kamu telah mempersiapkan semuanya. Cahaya lilin temaram dan makan malam istimewa. Kamu melamarku malam itu dan tentu aku menerima dengan bahagia dan terharu. Aku merasa menjadi wanita paling bahagia. Aku ingin kebahagiaan ini selamanya. Tapi nyatanya tidak. Perjalanan pulang berubah menjadi malam yang kelam. Kejadian yang begitu cepat. Sorot lampu truk yang sekejap menyilaukan, lalu semuanya berubah menjadi gelap. Aku tak tau lagi kejadian setelahnya.

Aku terbangun di sebuah ruang rumah sakit. Sudah tiga hari aku terbaring disini. Aku melihat sekeliling mencarimu, tapi tidak ada. Kulihat seorang pria duduk di sebelah tempat tidur memandangku. Tapi dia bukan kamu. Aku tak mengenalnya.

"Siapa kau?"

Pria ini menceritakan semua. Dialah yang membawa kita ke rumah sakit. Dan aku sangat terhenyak saat dia bilang 'kamu meninggal'. Terasa seperti mimpi. Baru saja aku merasakan kebahagiaan, tapi sekejap saja kebahagiaan itu sirna. Kamu adalah inspirasiku dalam menulis. Kamu adalah penyemangatku kala jenuh. Rasanya aku ingin menyusulmu saja. Aku tak bisa hidup tanpamu. Aku tak memiliki keluarga lagi. Kamulah yang selama ini selalu menemaniku. Air mataku langsung mengalir deras. Isak tangisku semakin keras. Tapi pria ini mencoba menenangkanku.

Seminggu berlalu, aku sudah diperbolehkan keluar rumah sakit. Aku langsung ingin menemuimu. Dia mengantarku ke pemakamanmu. Aku tak bisa menghentikan tangisku. Lalu dia juga yang mengantarku pulang. Hampir setiap hari dia selalu datang mengunjungiku mengajakku bercerita. Aku hanya diam tak pernah menanggapinya. Tapi dia masih tetap sering datang berkunjung. Dia bercerita tentang dirinya, berita terbaru, atau tentang apapun, sesekali bercanda untuk menghiburku.

Mentari pagi menembus kaca jendela. Aku hanya duduk terdiam. Seperti biasa dia datang berkunjung. Kali ini dia menceritakan tentang pekerjaannya sebagai seorang arsitek. Dia juga bertanya apa pekerjaanku, tapi aku hanya diam. Dia mencoba berkeliling melihat-lihat ruangan sekitar. Dia berdiri di depan lemari bukuku mengamati beberapa judul. Dia mengambil sebuah buku lalu duduk kembali. Setelah membaca sinopsis di bagian belakang, membuka beberapa halaman, dilihatnya lagi nama penulis di bagian depan, lalu pria ini menyadarinya.

"Kamu penulis novel ini?"

Dia menunjukkan salah satu buku karyaku. Wajahnya nampak kagum tak percaya. Aku tetap diam saja. Dia kembali mendekat ke lemari dan memilih-milih beberapa buku, membaca judul dan nama si penulis. Lalu dia menemukan enam buku lagi. Dia meminta izin membawa pulang semuanya meminjam untuk dibaca di rumah. Aku hanya diam membiarkannya. Saat datang berkunjung lagi dia mengembalikan satu per satu buku yang sudah selesai dibacanya.

Dia menyukai karya-karyaku. Dia memintaku untuk kembali menulis. Tapi bagaimana aku bisa kembali menulis, kalau kamu sudah tiada. Kamulah nyawa dalam setiap tulisanku. Tanpamu, tulisanku juga mati. Tapi pria ini tidak pernah menyerah, dia terus menyemangatiku setiap kali datang. Dia duduk di dekatku, menatapku tulus. Matanya nampak lelah tapi senyum selalu terlukis di wajahnya.

"Nevada, aku mengagumi karya-karyamu. Sebelumnya aku bukan orang yang hobi membaca. Tapi setelah membaca buku-bukumu, sekarang aku menjadi penggemarmu. Kamu adalah penulis yang hebat. Kamu harus kembali menulis. Kamu tidak boleh sedih begini terus. Dirinya pasti tidak mau melihatmu terpuruk begini. Kamu harus kembali bangkit. Kamu harus berkarya lagi. Dia, para penggemarmu, dan juga aku menanti tulisan terbarumu."

Seketika air mataku menetes. Dia benar. Kamu pasti sedih jika melihatku begini. Kamulah yang pertama kali mendukungku menjadi penulis. Tentu kamu tidak mau pula menjadi penyebab aku berhenti. Aku harus melanjutkan impianku. Dia sangat mendukungku. Aku mulai berbicara lagi. Bercerita banyak hal dengannya. Dan aku kembali menulis lagi.
********

Kenangan itu membuat air mataku sedikit menggenang di ujung mata. Buku ini kupersembahkan untuknya. Untuk pria yang hari ini telah sah menjadi pendampingku seumur hidup. Pria yang tak menghapus masa laluku tentangmu. Dia hanya melanjutkannya, mengembalikan kebahagiaanku. Ku tatap dirinya yang berdiri di belakangku.

"Terima kasih karna kau membuatku menulis lagi."

No comments:

Post a Comment